Posisi Perempuan dalam Masyarakat KARO

A. Posisi Perempuan Pada Masyarakat Partriarki 

"Dunia ibu, dunia perempuan, adalah dunia perlawanan dalam diam, dunia pemberontakan dalam kepatuhan, dunia hening di tengah ingar-bingar keramaian dan kekacauan hidup, dunia dalam ketakutan dan ketidakberdayaan." (Maria Hartiningsih, Kompas 12 Juni 2011)

Aktivitas domestik sudah sejak lama dilekatkan pada perempuan. Hal itu kemudian menjadi budaya dan adat istiadat. Perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia pekerja domestik (homemaker) yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif diluar rumah sehingga peranannya tidak lebih dari sekedar aktivitas dalam rumah.

Di kemudian hari, terutama di dunia kerja, banyak posisi strategis yang aksesnya tertutup bagi perempuan. Perempuan dianggap tidak pantas memimpin dalam pekerjaan karena dinilai sebagai mahluk hidup yang terlalu menggunakan perasaan dan sulit mengambil kepuutusan dengan bijak.

Pelekatan pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki sudah sejak lama diyakini kebenarannya. Perempuan selalu dikatikan dengan beberapa kata, "sumur, dapur, kasur" yang hingga kini digugat eksistensinya.

Wacana tersebut dinilai sebagai wacana usang yang tidak dapat dibuktikan secara nyata karena banyak perempuan yang juga mengambil bagian penting di ranah produktif. Walaupun pada tataran kenyataan, secara mendalam perempuan masaih terus dikatakan dengan,"sumur, dapur dan kasur" dan belum mampu keluar secara utuh tanpa tenensi apapun.

BPS mencatat dari 100 penduduk yang bekerja sebagai : (a) tenaga kepemimpinan dan ketatalaksaan, 18 orang adalah perempuan dan 82 adalah laki-laki; (b) bekerja dengan status berusaha dibantu buruh dibayar/tidak dibayar, 23 orang perempuan dan 77 orang laki-laki; (c) bekerja dengan status pegawai/buruh/karyawan/tidak dibayar, 73 perempuan dan 27 laki-laki. Data ini memperlihatkan perempuan yang bekerja masih menempati posisi yang tidak strategis. Perempuan masih tertinggal dari laki-laki dalam menduduki posisi yang membutuhkan keahlian pengambilan kebijakan. Status pekerjaan sebagai pengusaha (berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh) dan buruh/pegawai/karyawan saat ini masih didominasi laki-laki. Sementara status pekerjaan sebagai pekerja keluarga/tidak dibayar didominasi perempuan. (Abdullah 2001 :105)

Pembagian kerja secara seksual tidak banya terjadi antara bidang domestik dan publik, tetapi dalam bidang publik pun terjadi segmentasi yang nemepatkan perempuan dan laki-laki pada segmen yang berbeda. Karen itu, subordinasi dalam stratifikasi gender menunjukkan bentuk yang jelas dalam kehidupan ekonomis dimana perempuan berada pada posisi subordinat terhadap laki-laki. Seperti halnya perbedaan domestik dan publik, stratifikasi dalam struktur ekonomi juga merupakan alat penegasan arah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.

Dalam masyarakat patriaki, pemimpin usaha sering dilekatkan sebagai jembatan laki-laki, sedangkan perempuan selalu dilekatkan sebagai unsur pendukungnya. Andaikata mendapatkan posisi dalam pekerjaan, biasanya perempuan dilekatkan dengan pekerjaan keluarga yang tidak diperhitungkan jerih parahnya. Ini menunjukkan bahawa peningkatan kuantitatif partisipasi perempuan di ranah produktif belum sesuai dengan semangat kesetaraan denger. Kesetaraan gender hanya dipahami sebagian besar masyarakat dengan kesetaraan kesempaptan perempuan dan laki-laki.

Namun secara kontekstual, pemahaman tersebut masih sangat dangkal, tabu dan bekerja di ranah mitos. Struktur upah juga menunjukkan gejala yagn sama. Perempuan mengalami diskriminasi yang sangat tidak adil, Perempuan dilabelkan sebagai sumberdaya yang lemah, kurang kompeten dan layak dibayar murah karena tidak mempunyai tanggungjawab sebesar laki-laki dalam kehidupannya, serta dilekatkan dengan pekerjaan yang tidak strategis. 

B. Posisi Perempuan Pada Masyarakat KARO

Menurut EP Ginting (1995 : 85-87) persepsi masyarakat KARO terhadap perempuan bersifat dikotomis. Pada satu sisi perempuan dihormati, dimintai pendapatnya walaupun sebenarnya kesempatan perempuan untuk berbicara dalam acara adat hanya sedikit. Perempuan selalu akan diminta pendapat dan memiliki hak khusus (misalnya sirembah ku lau), namun pada prakteknya pendapat perempuan akan selalu mengikuti laki-laki, sebab akan dianggap tidak sopan jika bertentangan dengan pendapat laki-laki (band P. Sinuraya, 1989 :48). Dalam pesta adat, pembicara selalu dari laki-laki, belum pernah ada perempuan. Pada sisi lain, perempuan dilecehkan karena kesuburan rahimnya. Jika perempuan tidak dapat memberikan keturunan kepada suaminya maka perempuan dipandang sebagai barang yagn tidak berharga lagi. 

Sehingga dalam perkawinan orang karo, laki-laki boleh beristrikan lebih dari seorang perempuan dan perempuan hanya boleh bersuamikan seorang laki-laki saja (P. Tamboen, 1952 : 149).

Peran, kedudukan dan persepsi mengenai perempuan dalam sistem kebudayaan KARO seperti telah dijelaskan di atas, dapat juga dilihat dalam struktur masyarakat KARO tradisional yang terdiri dari subdivisi yang disebut kuta atau kampung, urung dan kerajaan. 

Ketiganya memiliki peran yang sangat penting dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.

Sejak semula dalam masyarakat KARO tradisional, posisi-posisi kepemimpinan dalam subdivisi tersebut dipimpin oleh laki-laki. Hal ini terus diwariskan dan diwarisi sehingga posisi-posisi penting dalam masyarakat KARO didominasi oleh laki-laki.

Hal tersebut membuat sangatlah sulit bagi perempuan KARO menduduki posisi pemimpin baik di lembaga keagamaan, masyarakat ataupun di pemerintahan.

Ini bisa kita pelajari dari masa lampau ada beberapa cerita tentang perempuan yang berhikmat yakni, Beru Ginting Pase (Si Mberu Medanak), Putri Hijau, Beru Renggang Kuning (Buku-Buku Hikayat KARO).


Namun pada catatan sejarah KARO, belum pernah ada perempuan KARO menjadi pucuk pemimpin di KARO ataupun di tempat lain. Bahkan dari cerita Beru Rengga Kuning, tersebutlah seorang perempuan harus menyamar menjadi laki-laki dan ternyata dalam penyamarannya tidak ada yagn tahu kalau dia perempuan, dia bisa mengalahkan para musuh dengan menghalanginya untuk melakukan misinya, melepaskan saudara laki-lakinya Naktaki, dia bisa berkelana dari satu desa ke desa yang lain. Dan akhirnya dia bisa menang dalam satu pertarungan di mana pesertanya adalah semua laki-laki (N.Ginting,1984).

Seorang anak perempuan KARO mengidentifikasikan dirinya dengan menunjukkan bahwa dia adalah perempuan yang menjadi milik ayahnya (Risnawati Sinulingga, 1994 : 285). Identifikasi diri seperti ini secara sederhana dapat dilihat dalam pertemuan keluarga besar dimana tidak semua orang saling mengenal dengan dekat. 

Selanjutnya, setelah menikah maka identifikasi dirinya bergantung kepada suami yang "membelinya" sebagai istri. Masyarakat KARO mengenal istilah diberu tukur (perempuan yang dibeli). Ada mahar yang dibayarkan oleh pihak penerima istri oleh yang dibayarkan oleh pihak pemberi istri. Istilah lain yang menggambarkan ketidakberdayaan perempuan KARO dalam mendefinisikan dirinya adalah si rukat nakan (yang menanak nasi). Masyarakat KARO baik laki-laki maupun perempuan memiliki pemahaman bahwa perempuan dinikahi oleh seorang laki-laki terutama untuk menanak nasi dan mempersiapkan segala keperluan laki-laki.

Selain tidak bebas mendefinisikan dirinya, perempuan KARO juga diperlakukan sebagai obyek. Dalam pernikahan misalnya, perempuan seolah-olah adalah barang yang diperjualbelikan. Perempuan dituntut untuk menjada kehormatan keluarga.

Pada sistem kebudayaan yang patriarki dan patrilineal ini kemudian memunculkan satu sistem pembagian kerja yang dikotomis. Laki-laki diidentikan degan pekerjaan ruang publik seperti mencari nafkah (bekerja diluar rumah), mengambil keputusan, mengatur rumah tangga, kepala keluarga dan lain-lain. Sementara perempuan diidentikan dengan pekerjaan di ruang domestik seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, merawat anak, mengurus suami dan lain-lain.

Pembagian kerja dalam masyarakat didasarkan pada jenis kelamin dan hal ini dapat diterima sebagai sesuatu yang alamiah oleh masyarakat termasuk perempuan (Arief Budiman, 1981 : vii). Perempuan KARO memang mempunyai peranan namun peranannya hanya sebagai orang kedua, subordinat. Dalam hal ini perempuan belum mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki. Perempuan tersubordinat.

Oleh karena itu, perempuan harus tunduk menaati pimpinan laki-laki, bukan??? Keadaan ini dikemukan dalam perumpamaan yang bunyinya, "Bagi tudung ngarakken bulang" (laki-laki di depan, sedangkan perempuan di belakangnya).

Namun disisi lain, walaupun laki-laki yang pada umumnya dianggap berkualitas untuk menjadi pemimpin, karena laki-laki itu kokoh, aktif serta pemberani, ada kalanya perempuan juga memiliki kualitas yang sama. Keadaan ini dikemukakan dalam perumpamaan yang bunyinya, "bagi leto pingki, rawan beruna asangken buganna" (seperti burung puyuh, lebih kokok, aktif dan berani betinanya ketimbang jantannya) (M. Singarimbun 1994 : 105)

oleh : Pdt. Irama br Purba Sth (Maranatha Edisi 294 September 2015 Hal 44-45)


No comments:

Post a Comment