Kerja Tahun (Merdang Merdem), Refleksi Prinsip Kedaulatan Pangan

Masyarakat Indonesia yang pada umumnya berbasis agraris memiliki corak kebudayaan dengan karakteristik agraris pula. Legenda Dewi Sri yang menjadi bagian dari sistem kepercayaan dikalangan suku Jawa maupun Sunda merupakan salah satu contoh corak budaya agraris dalam masyarakat nusantara. Moda produksi pertanian tidak hanya berpengaruh dalam aspek kepercayaan sebagai salah satu bagian dari keseluruhan sistem kebudayaan, namun juga memberikan ciri bagi unsur-unsur kebudayaan lainnya seperti sistem pengetahuan, teknologi serta kesenian.


Suku Karo di Sumatera Utara sebagai bagian dari masyarakat agraris nusantara juga memiliki corak kultural yang merefleksikan karakter agraris dari masyarakat Karo. Salah satu tradisi masyarakat Karo yang tidak lepas dari pola produksi pertanian ialah kerja tahun. Kerja tahun adalah suatu bentuk ritual atau upacara penyembahan kepada Sang Pencipta atau Beraspati Taneh (dewa yang berkuasa atas tanah menurut agama Pemena atau agama asli suku Karo) yang bertujuan menyukseskan setiap tahapan aktivitas pertanian dan manifestasi dari harapan akan hasil panen yang berlimpah (Sembiring,1992). Bila upacara tersebut dilakukan pada masa panen (ngerires), maka hal itu menjadi perwujudan rasa syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan bertani telah selesai dengan aman dan sukses. Biasanya kerja tahun diadakan oleh masyarakat yang berasal dari satu kuta atau kampung tertentu.

Kerja Tahun dan Prinsip Gotong Royong

Kerja Tahun atau Merdang Merdem hingga kini masih diselenggarakan setahun sekali oleh masyarakat Karo. Tetapi waktu pelaksanaan kerja tahun berbeda-beda di masing-masing daerah yang termasuk dalam daerah kebudayaan Karo. Beberapa daerah hanya melaksanakan ritual kerja tahun pada tahapan tertentu dalam kegiatan pertanian. Ada yang merayakan di masa awal penanaman (merdang merdem), masa pertumbuhan (nimpa bunga benih), masa menjelang panen (mahpah) ataupun pada masa panen (ngerires).

Kerja tahun pada umumnya dilaksanakan selama enam hari. 

  1. Hari pertama (cikor-kor) merupakan awal pelaksanaan kerja tahun yang ditandai dengan kegiatan penduduk mencari kor-kor (sejenis serangga yang tinggal dalam tanah) di ladang. 
  2. Hari kedua atau biasa disebut cikurung diisi dengan kegiatan mencari kurung (hewan sawah) di areal persawahan. 
  3. Hari ketiga yang disebut dengan ndurung adalah kegiatan mencari nurung (ikan) di sungai. 
  4. Hari keempat ditandai dengan kegiatan mantem atau motong, yakni aktivitas penyembelihan lembu dan babi. 
  5. Hari kelima atau matana merupakan puncak dari upacara perayaan kerja tahun. Ketika sampai pada puncak perayaan, semua penduduk mengucapkan rasa syukur atas hasil panen dengan saling mengunjungi diantara sesama warga penyelenggara kerja tahun. Dalam acara kunjungan itulah seluruh hidangan yang berasal dari awal kegiatan kerja tahun hingga hari kelima akan disajikan. Namun perayaan kerja tahun belum usai pada hari kelima.
  6. Hari keenam dilaksanakanlah nimpa atau kegiatan membuat cimpa (makanan khas Karo yang terbuat dari beras atau ketan). Pelaksanaan kerja tahun berakhir di hari ketujuh atau biasa disebut dengan rebu. Pada hari ketujuh ini tidak ada kegiatan yang dilakukan karena arti dari kata rebu itu sendiri adalah tidak saling menyapa atau bercakap-cakap. Hari rebu lebih merupakan hari istirahat setelah selama enam hari ‘berpesta’.

Kerja tahun menjadi semacam perwujudan prinsip gotong royong dalam masyarakat Karo. Setelah satu tahun disibukkan oleh kegiatan bertani atau berladang yang juga dilaksanakan secara gotong royong, maka hasil dari aktivitas pertanian itu juga harus disyukuri dan dinikmati secara gotong royong pula. Pada masa kerja tahun, seluruh masyarakat kuta saling berbagi kegembiraan tanpa adanya sekat-sekat tertentu.

Refleksi Kedaulatan Pangan

Upacara kerja tahun merefleksikan kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat kuta dalam suku Karo yang masih bersifat subsisten. Alokasi pangan bagi perayaan kerja tahun serta sistem logistik yang kuat mencerminkan kearifan lokal yang tangguh dalam hal kedaulatan pangan. Pola pertanian atau perladangan masyarakat Karo sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan penduduk akan pangan. Maka jangan heran bila kita tidak akan menemukan peristiwa kekurangan pangan dalam sejarah kuta di Tanah Karo, kecuali yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti serangan dan penjarahan berbagai kuta yang dilakukan kolonialis Belanda di masa penjajahan.

Dalam konteks masa kini, pelaksanakan kerja tahun telah bergeser dari upacara yang mencerminkan harapan dan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah menjadi hanya ritual-ritual yang bersifat seremonial untuk kepentingan pariwisata. Seiring dengan perubahan sistem produksi dari pertanian komunal menjadi kapitalisme industrial pada masyarakat Tanah Karo, upacara kerja tahun pun mengalamai komodifikasi. Hal tersebut menjadi suatu keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang berdasarkan paradigma ekonomi formalis karena menilai segala sesuatu dari nilai ekonomis semata.

Pergeseran nilai dalam ritual kerja tahun juga dipengaruhi oleh dianutnya agama-agama semit semacam Kristen dan Islam oleh sebagian besar masyarakat Karo. Sementara kerja tahun merupakan ritual yang erat dengan agama Pemena sebagai perwujudan rasa hormat dan syukur pada sang Beraspati Taneh.

Apapun yang terjadi dengan upacara kerja tahun kini, ritual tersebut tetap layak dijadikan referensi bagi segenap elit borjuasi yang memegang kendali atas negeri ini. Lebih tepatnya referensi mengenai prinsip kedaulatan pangan yang kini tergerus oleh arus liberalisasi. Budaya agraris masyarakat Karo serta masyarakat agraris lainnya di nusantara hendaknya menjadi contoh betapa kebudayaan masyarakat Indonesia sejatinya telah memiliki prinsip kemandirian yang sejalan dengan kemakmuran bersama. Perbedaan bentuk masyarakat bukanlah alasan bagi pengabaian nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan dengan situasi terkini Republik ini.

sumber : berdikarionline.com
refrensi : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18714/1/his-jan2007-23%20%284%29.pdf