KUTA - KUTA

Siapa yang suka disebut atau dikategorikan sebagai "kuta-kuta"? Saya kira hampir tak ada orang yang suka dikatakan sebagai "kuta-kuta", "ndeso", tidak "modern", ketinggalan zaman bahkan mungkin kampungan. Biasanya kita yang tak mengikuti aturan normatif perihal sopan-santun, cara berbicara, cara berpakaian, gestur tubuh, hingga selera, akan segera dianugerahi gelar "kuta-kuta". Singkatnya, gelar tersebut kerap bermakna negatif ataupun tak "trending".

Posting Facebook "Cakrawala Ginting"

Nah berbicara mengenai selera atapun "trend" saya barangkali masuk kategori "kuta-kuta" alias "ndeso" hahahahahahaha

Katanya sungguh lucu memang bahwa saya yang sudah belasan tahun tinggal di pulau Jawa, bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan, bahkan sedang menempuh tingkat pendidikan tertinggi di Inggris, tapi tetap saja "kuta-kuta".

Salah satu ceritanya begini. Professor atau supervisor saya berkali-kali mengingatkan saya untuk cukup menyebut nama saja: Rachel atau Gill. Katanya tak perlu pakai "embel-embel" "Doc" ataupun "Prof". Cukup panggil dengan Gill. Sebenarnya saya sudah paham mengenai pergaulan seperti itu. Tapi saya kok tetap saja tak kuasa untuk menyebut-nyebut nama mereka, apalagi usianya sudah tua. Akhirnya saya mengaku dan mohon kepada mereka supaya "jangan memaksa" saya untuk memanggil namanya hahahahahaha. Mereka pun "mengalah". Eh, ketika saya bercerita kepada teman saya perihal itu, dia segera mengatai saya: dasar "ndesoooooo"!!

Cerita lainnya begini. Saat-saat sekarang, berkaitan dengan selera musik. Tolonglah jangan paksa saya untuk mendengarkan One Direction, Lady Gaga, atau musik-musik pop yang memang lagi populer. Sungguh tak kuat saya mendengarkan musik-musik populer. Nah, kalau musik Karo tradisional ditambah "patam-patam" , saya betul-betul suka. Lagi-lagi teman saya mengatai: dasarrr "kuta-kuta"!!!!

Tapi, semakin kesini saya justru semakin bangga dengan "kekuta-kutaan" atau "kendesoan" saya. Biarlah saya dikatakan "kuta-kuta". Pernah memang dalam perjalanan hidup, saya merasa minder dengan latar belakang saya yang dari "kuta-kuta", atau tepatnya kota kecil dan etnis yang kurang begitu diperhitungkan. Bahkan saya dulu pernah minder sekali ketika pertama kali kuliah di Jawa. Pada saat menyatakan argumentasi di kelas, teman-teman saya tertawa karena mendengar logat Karo saya begitu kental hehehehehe. Tapi pada akhirnya semua bisa diatasi, bisa diolah. Saya dulunya pun gampang kagum dengan yang "kebarat-baratan". Gampang terpesona dengan yang "kemodern-modernan". Tetapi itu dulu, sekarang malah terjadi arus balik.

Di saat semua orang bangga dikatakan ikut "trend" dan modern, saya justru lebih bangga menempuh jalan yang tidak banyak ditempuh oleh orang kebanyakan. Meskipun memang sering membuat kita menjadi merasa sendirian, tapi bukan berarti kesepian. Tetapi apalah arti hidup, jika kita hanya bisa "mem-bebek" dan mengikuti orang-orang kebanyakan tetapi kehilangan jati diri kita sendiri. Semoga kita lebih berani dan percaya diri menyalakan lilin dan cahaya kita sendiri, daripada hilang di bawah cahaya orang lain.

Saya adalah anak "kuta-kuta"


No comments:

Post a Comment