(Universitas Kristen Indonesia / UKI - Jakarta 20/12) Dengan waktu dan persiapan yang relatif singkat. Ikatan Keluarga Besar Mahasiswa Karo (IKBMK) - Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, mampu melaksanakan acara Natal Sabtu 20 Desember 2014 yang bertempat di Ruang Seminar Ekonomi UKI ( Lantai 3 ) - UKI. Adapun thema yang diangkat dalam acara ini adalah "Kita Ngkelengi, Sebab Ia Leben Ngkelengi" - 1 Joh : 1-9. Themanya adalah "Alu Semangat Natal, Mahasiswa Ergiah-giah Nahken Kekelengenku Sapih-Sapih Manusia Selaku Penerus Adat Budaya Karo i Masa Depan"
Yang membawa khotbah dalam Natal ini adalah Pdt. Bernard Roy Munthe.
Dalam khotbahnya yang berstyle mahasiswa langsung berinteraksi dengan para jemaat menyebutkan tahap-tahap perkembangan iman manusia sepanjang hidupnya berdasarkan psikologi.
Adapun keterkaitan perkembangan iman itu mencakup 6 tahap perkembangan.
Tahap 1: Intuitive-projective faith (usia 18-24 bulan sampai 7 tahun)
Pada masa ini ‘iman’
anak banyak diperoleh dari apa yang diceritakan orang dewasa. Dari
cerita-cerita itu mereka membentuk gambaran Tuhan yang perkasa, surga
yang imajinatif, dan neraka yang mengerikan. Gambaran ini umumnya
bersifat irasional, karena pada masa ini anak belum memahami
sebab-akibat dan belum dapat memisahkan kenyataan dan fantasi. Mereka
juga masih kesulitan membedakan sudut pandang Tuhan dengan sudut pandang
mereka atau orangtuanya. Konsep Tuhan yang diyakini pada masa ini
berkisar pada kepatuhan (obedience) dan hukuman (punishment).
Tahap 2: Mythic-literal faith (usia 7 sampai 12 tahun)
Anak sudah lebih logis
dan mulai mengembangkan pandangan akan alam semesta yang lebih tertata.
Meskipun sudah mengikuti kepercayaan dan ritual orangtua serta
masyarakat, mereka cenderung mempercayai cerita dan simbol religius
secara literal karena pada masa ini anak belum mampu berpikir abstrak.
Di sisi lain, mereka sudah dapat memahami bahwa Tuhan mempunyai sudut
pandang lain dengan turut mempertimbangkan usaha dan niat seseorang
sebelum ‘menghakiminya’. Mereka percaya bahwa Tuhan itu adil dalam
memberi ganjaran yang sepantasnya bagi manusia.
Tahap 3: Synthetic-conventional faith (usia remaja dan selanjutnya)
Setelah mampu berpikir
abstrak, remaja mulai membentuk ideologi (sistem kepercayaan) dan
komitmen terhadap ideal-ideal tertentu. Di masa ini mereka mulai mencari
identitas diri dan menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan. Namun
identitas mereka belum benar-benar terbentuk, sehingga mereka juga masih
melihat orang lain (biasanya teman sebaya) untuk panduan moral. Iman
mereka tidak dapat dipertanyakan dan sesuai dengan standar masyarakat.
Tahap ini pada umumnya terdapat pada pengikut agama yang terorganisasi;
sekitar 50 persen orang dewasa mungkin tidak akan melewati tahap ini.
Tahap 4: Individuative-reflective faith (awal hingga pertengahan umur duapuluhan)
Mereka yang bisa
mencapai tahap ini mulai memeriksa iman mereka dengan kritis dan
memikirkan ulang kepercayaan mereka, terlepas dari otoritas eksternal
dan norma kelompok. Pada tahap ini masalah orang muda umumnya terkait
dengan pasangan hidup, sehingga perpindahan ke tahap ini bisa dipicu
oleh perceraian, kematian seorang teman, atau peristiwa-peristiwa
lainnya yang menimbulkan stres.
Tahap 5: Conjunctive faith (usia paruh baya)
Pada usia paruh baya,
orang jadi semakin menyadari batas-batas akalnya. Mereka memahami adanya
paradoks dan kontradiksi dalam hidup, dan sering menghadapi konflik
antara memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri dengan berkorban untuk
orang lain. Ketika mulai mengantisipasi kematian, mereka dapat mencapai
pemahaman dan penerimaan lebih dalam, yang diintegrasikan dengan iman
yang mereka miliki sebelumnya.
Tahap 6: Universalizing faith (lanjut usia)
Pada tahap terakhir
yang jarang dapat dicapai ini, terdapat para pemimpin moral dan
spiritual, seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan Bunda Teresa,
yang visi dan komitmennya terhadap kemanusiaan menyentuh begitu banyak
orang. Mereka digerakkan oleh keinginan untuk “berpartisipasi dalam
sebuah kekuatan yang menyatukan dan mengubah dunia”, namun tetap rendah
hati, sederhana, dan manusiawi. Karena sering mengancam kekuasaan,
mereka kerap menjadi martir; dan meski mencintai kehidupan, mereka tidak
terikat padanya.
Usai acara kebaktian Natal, acara dilanjutkan kembali hiburan menari bersama, yang lebih populer disebut gedang aron (menari muda-mudi) yang di iringi oleh musik modern (keyboard karo) yang dipandu weenakkk oleh Rudy Gurusinga
Dalam acara ini juga hadir tamu-tamu undangan baik dari orang tua, donatur-donatur acara dan sebagian pemerhati seniman karo. Artis-artis senior karo ibu kota juga ada yang hadir diantaranya Santa Hoky br Ginting, Tio Fanta Pinem, Mulyanta Surbakti, Coan (Rdm Karo Tari) dan Esa Hati br Ginting
Acara demi acara dilanjutkan. setelah makan malam bersama, acara diteruskan secara bergantian menari per merga-merga, dan diselingi dengan adu perkolong-kolong. Walaupun mahasiswa-mahasiswi yang ikut berpartisipasi dalam acara ini yang dominan lahir dan besar di ibukota, semangat mereka untuk belajar budaya karo (menari karo) tidak sirna. Artis senior seperti Santa Hoky br Ginting dan Coan - RDM Karo Tari (Selaku pemerhati Seni Tari Karo) ikut berperan aktif dalam memberikan tata cara menari karo yang baik. Muda-mudi ( mahasiswa/i ) berterima kasih sekali kepada seniman karo dan orang tua yang hadir sudah memberikan motivasi dan mau memberikan pelajaran tentang budaya karo khususnya Landek (Menari Karo).
Di selah-selah acara, Coan (RDM Karo Tari) juga memberikan arahan-arahan yang baik kepada muda-mudi (mahasiswa/i) bagaimana tata cara Landek Karo (Menari Karo) yang baik. Dijelaskan oleh beliau. Dinamika tarian Karo itu adalah salah satu tarian paling halus di Indonesia. Sebagai contoh, gerakan kaki yang disebut endek, merupakan salah satu ciri khas tarian karo yang hilang oleh kemajuan zaman. Saat ini terlalu banyak landek (tarian) karo itu tidak lagi semestinya, sama dengan hilangnya karakter Karo itu sendiri.
Sisi lain Coan (RDM Karo Tari) menuturkan kekecewaannya kepada orang-orang karo di Jakarta sekitarnya. Saya bekerja di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), setiap hari Selasa dan Jumat pukul 14.00 Wib, disana ada pelatihan khusus Tarigan Karo. Sekitar 100 murid yang saja ajari, yang rata-rata dari mahasiswa/i Univeristas Negeri Jakarta (UNJ) dan Ikatan Kesenian Jakarta (IKJ), tidak ada satupun ada orang Karo, pada hal itu adalah gratis, begitu kata beliau. Dari itu, silahkan datang ke sana, dengan senang hati saya akan mengajarinya.
Dipenghujung acara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Santa Hoky br Ginting dan foto bersama dengan panitia. Acara berjalan dengan baik dan di akhiri dengan foto bersama.
Selamat Natal 25 Desember 2014 dan Tahun Baru 1 Januari 2015. Mejuah-juah....